- Sepanjang 2023, ekonomi global mengalami normalisasi dari tekanan suplai dan likuiditas di tahun 2022. Langkah normalisasi ini dipermulus oleh tiga elemen: komoditas (terutama energi), pemulihan ekonomi Tiongkok, dan kebijakan fiskal di AS. Namun ketiga faktor ini menyimpan potensi instabilitas, yang bisa memicu gejolak global baru di tahun 2024 atau sesudahnya.
- Penurunan harga minyak, salah satunya terkait pengeluaran stok dari cadangan strategis AS (SPR), memungkinkan AS dan negara lainnya untuk menurunkan inflasi tanpa terjadi kenaikan angka pengangguran. Tapi memasuki 2024, konsumsi minyak global mulai tumbuh lebih cepat dari produksi, salah satunya berkat pemangkasan produksi oleh OPEC+.
- Dua faktor bisa menjadi buffer yang mencegah risiko lonjakan harga energi terlalu tinggi—stok bahan bakar fosil global yang cukup tinggi dan kenaikan produksi minyak shale di AS. Namun boom minyak shale ini belum tentu berlanjut di jangka panjang, karena lebih merupakan cerminan konsolidasi alih-alih ekspansi industri.
- Inflasi pangan global turun seiring dengah harga pupuk dan fenomena El Niño. Akan tetapi, El Niño lebih cenderung membantu produksi tanaman iklim sedang, sementara harga komoditas pangan tropis masih bertahan tinggi.
- Stimulus Tiongkok yang berfokus di sisi suplai belum menjadi pendorong harga komoditas, akibat besarnya tingkat stok terutama untuk batubara dan nikel. Untuk menutup kelebihan suplai ini, produksi perlu melambat dan permintaan dari investasi aset tetap perlu meningkat, yang sepertinya lebih terlihat untuk komoditas tembaga.
- Gangguan rantai pasok akibat serangan Houthi di Laut Merah tidak serta-merta mengangkat harga komoditas seperti banyak diperkirakan, jika hal ini justru menunda pelonggaran kebijakan yang selama ini dinantikan dari Fed. Tanpa kebijakan yang “kooperatif” dari Fed, komoditas belum tentu bisa mengalami boom jangka panjang sebagaimana pada dekade 1930-an, 1970-an, dan 2000-an, meskipun ada dukungan dari gejolak geopolitik.