- Walaupun pertumbuhan ekonomi AS tahun ini diperkirakan 6,5% (bersaing dengan target pertumbuhan Tiongkok sebesar 6%) dan angka inflasi inti bahkan diperkirakan diatas 2% (sudah di batas atas target Fed), Jerome Powell tetap menegaskan bahwa suku bunga batas nol dan program pembelian aset akan tetap berlanjut untuk waktu yang cukup lama.
- Postur yang sangat dovish ini menunjukkan bahwa the Fed siap menerima nilai inflasi yang cukup tinggi untuk waktu yang lebih lama. Hal ini membantu mengademkan pasar yang bergejolak sebelumnya akibat kenaikan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS.
- Namun, berdasarkan data terbaru dari dot plot the Fed, jumlah anggota dewan The Fed yang memperkirakan adanya kenaikan suku bunga di tahun 2022 dan 2023 terus bertambah. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa postur Powell yang lebih longgar terhadap inflasi belum tentu disetujui oleh seluruh anggota dewan.
- Kekhawatiran tersebut lebih besar di luar AS, di mana kecepatan program vaksinasi dan pemulihan ekonomi cenderung lebih lambat. Keputusan Bank Indonesia (BI) untuk menahan suku bunga di 3,50% mencerminkan kekhawatiran tersebut.
- Kebijakan akomodatif Bank Indpnesia (BI) ke depan kemungkinan besar akan lebih mengandalkan alat non-suku bunga seperti kebijakan makroprudensial. Pelonggaran ketentuan loan to value (LTV) serta penerapan penalti Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM) secara gradual menjadi dua contoh upaya BI untuk menambah likuiditas tanpa memotong suku bunga.