20 Jan 2025 | News & Feature

Outlook Perbankan 2025: Tahun penuh tantangan

  • Tahun 2025 dimulai dengan prospek global yang menantang, ditandai dengan dolar AS yang kuat, ketidakpastian politik dan melemahnya harga komoditas. Hal-hal ini menyebabkan menurunnya likuiditas dan permintaan. Meskipun QT The Fed diperkirakan akan berakhir pada tahun 2025, terbatasnya proyeksi pemotongan suku bunga membuat imbal hasil US Treasury 10 tahun tetap tinggi. Hal ini mempengaruhi imbal hasil obligasi Indonesia dan membatasi penurunan suku bunga kredit. Prospek sektor perbankan Indonesia akan sangat bergantung pada efektivitas kebijakan pemerintah, pengontrolan Rupiah oleh BI, dan kinerja sektor komoditas di tengah keterbatasan likuiditas domestik yang berlanjut.
  • Pertumbuhan ekonomi domestik pada tahun 2025 diproyeksikan melambat menjadi 4,9% YoY, sedikit menurun dari 5,0% YoY pada tahun 2024, sementara PDB nominal dapat meningkat akibat inflasi yang lebih tinggi. Inflasi ini berpotensi untuk mendorong pertumbuhan kredit, namun keterbatasan likuiditas global dan pengetatan likuiditas di sektor perbankan menimbulkan kekhawatiran terhadap permintaan kredit. Defisit fiskal pemerintah diperkirakan meningkat seiring dengan bertambahnya pengeluaran, yang dapat mendorong konsumsi dan tabungan rumah tangga. Namun, jika diiringi dengan peningkatan tinggi pada penerbitan obligasi, hal ini dapat menyedot investasi dari sektor swasta. Pada tahun 2025, pertumbuhan kredit kemungkinan akan stagnan, dengan risiko perlambatan. DPK mungkin akan mengikuti tren yang sama, meskipun ada potensi kenaikan dari transfer pemerintah ke sektor swasta.
  • Per Desember 2024, pertumbuhan kredit tetap kuat pada 10,39% YoY, didorong oleh kredit investasi (12,3% YoY), kredit konsumsi (10,9% YoY), dan kredit modal kerja (10% YoY). Meskipun NPL secara keseluruhan menurun, NPL meningkat untuk kredit UMKM dan kredit konsumsi. Kedepannya, bank diperkirakan akan mengadopsi pendekatan yang lebih selektif dalam penyaluran kredit di tengah ketatnya likuiditas, dengan memprioritaskan industri dengan kinerja bisnis yang kuat, margin yang sehat dan adanya potensi pertumbuhan. Bank juga akan menyesuaikan portofolio mereka agar sejalan dengan perubahan struktural untuk memastikan ketahanan terhadap guncangan di masa depan dan tetap relevan dalam lanskap ekonomi yang terus berubah.
  • Pertumbuhan DPK meningkat menjadi 6,7% YoY di bulan Oktober-24, didorong oleh giro dan tabungan, meskipun suku bunga tinggi dan deposito berjangka stagnan. Pemerintah telah memperkenalkan dan berencana untuk mengimplementasikan peraturan untuk meningkatkan DPK, terutama giro dan tabungan. Tantangan tetap ada, termasuk persaingan ketat untuk CASA (giro dan tabungan) dan pergeseran dari deposito berjangka ke SBN. Namun, masih adanya populasi yang belum terjangkau oleh bank dan terus meningkatnya adopsi digital, terutama melalui QRIS, memberikan peluang bagi bank untuk meningkatkan DPK mereka.
  • Bank-bank besar mendorong pertumbuhan DPK dan pinjaman, sementara bank-bank kecil tertinggal dan menghadapi peningkatan NPL karena eksposur UMKM. Meskipun suku bunga tinggi, bank-bank telah mempertahankan profitabilitas dengan mendiversifikasi pendapatan ke surat berharga seperti SBN. Penyaluran kredit tetap kuat, namun likuiditas yang ketat dan perang harga menekan margin. Selain itu, kebijakan BI, termasuk kebijakan makroprudensial dan kebijakan tidak langsung lainnya, memberikan peluang bagi bank untuk memanfaatkan hal ini dan meningkatkan profitabilitas.